Sabtu, 14 Juni 2008

Cristina, (14 th), Binangun

Adik saya tertawa


Senin 17 Juli 2006. Waktu itu saya sedang bermain dirumah teman. Tiba-tiba ada salah seorang tetangga saya berlari panic dan sangat ketakutan. Dia berteriak, “Tsunami… tsunami…” sambil terengah-engah.

Sontak kaget dan saya langsung berlari pulang ke rumah. Ketika sampai di rumah, adik dan kakak saya sudah siap-siap di atas motor. Saya langsung naik ke atas motor tanpa bersiap-siap untuk membawa harta benda sepeserpun.

Dalam perjalanan kami menjemput nenek kami.

“Mbah, mbah, tsunami…. mbah!!” kata adik saya berteriak.

Nenek saya yang waktu itu berada di sawah berlari ketakutan tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.

Selanjutnya kami pergi dengan menggunakan motor ke rumah saudara kami yang ada di Desa Danasri. Di sana nenek saya membersihkan diri dari kotoran sawah dan meminjam pakaian. Tapi setelah kami memberi kabar bahwa ada tsunami. Seluruh warga di desa tersebut ikut melarikan diri.

Kami pun terus pergi melanjutkan perjalanan kearah utara untuk mencari tempat yang lebih tinggi.

Di tengah perjalanan, kami melihat banyak orang yang melarikan diri. Diantara mereka kami melihat ada sepasang kakek dan nenek yang berboncengan dengan menggunakan sepeda onthel.

Adik saya tertawa karena melihat ada orang berlari dengan mengenakan handuk dan rambutnya masih penuh dengan shampoo.

Kami terus berlari menggunakan motor kea rah utara. Sesampainya di perbatasan Desa Jati dengan Sirau, kami mendengar kabar dari seorang Kepala Desa bahwa air laut sudah kembali surut. Dengan perasaan yang agak tenang, sesampainya di rumah, saya mandi dan membersihkan diri.

Setelah itu, ada salah seorang kawan saya bercerita bahwa rumah paman saya kemalingan.

Pagi harinya saya mendengar kabar bahwa di Daerah Pantai Widarapayung ada sekitar 98 orang yang tewas karena tsunami.

Tidak ada komentar: